Belum lama memang saya berada di gedung ini. Terhitung baru 2 minggu terakhir saya menjadikan tempat ini sebagai rumah kedua saya. Parkiran motor ada di area basement gedung. Di area basement ini tidak tertata rapi bukan seperti area parkir di mal-mal yang biasa kita lihat.
Ada banyak bekas-bekas lemari, kursi, meja kantor dan tumpukan-tumpukan barang lain yang sudah tidak terpakai. Mungkin tempat ini dijadikan sebagai gudang barang-barang yang masih bisa dipakai.
Jumlah motor yang parkir disini pun tidak banyak. Mayoritas adalah motor karyawan dan ada juga beberapa motor tamu. Yah kalau dihitung sekitar 30-40 motor.
Di area masuk basement ada sebuah meja dan kursi dan biasanya duduk seorang bapak-bapak tua berbadan cukup gemuk di kursi tersebut setiap harinya. Kalau dilihat sekilas bisa kita anggap beliau ini seperti tukang parkir di basement tersebut.
Bapak-bapak tua tersebut ramah sekali, kalau kita sapa dia balik tersenyum dan terlihat kesabaran dari wajahnya. Gerak tubuh dan jalannya juga sudah pelan menandakan tubuhnya sudah tidak fit lagi.
Bapak ini suka merapikan posisi motor-motor yang sudah terparkir agar posisi motor rapi dan space untuk motor lain cukup. Awalnya saya kira bapak tersebut memang tukang parkir yang kita harus membayar tarif parkir seperti pada umumnya.
Tapi ternyata tidak. Ia sama sekali tidak meminta tarif parkir kepada pengguna motor yang keluar. Setiap motor yang pulang keluar dari area basement cukup menyapa dan mengatakan “mari pak..”, dan ia akan mengembalikan dengan senyumannya.
Suatu hari saya pulang agak malam sekitar habis Isya. Masuk ke basement parkir dan saya melihat bapak tersebut sedang merapikan sesuatu. Di depannya ada sebuah tempat sampah besar dan ada 2 karung goni yang sudah berisi tumpukan-tumpukan kertas. Bertindak agak acuh, saya menuju ke motor dan menyalakan motor sambil bersiap-siap. Sambil menunggu mesin motor panas, saya penasaran juga dan akhirnya mendekat ke bapak tersebut.
Saya : Ini sampah-sampah kertas dari atas ya Pak?
Bapak : Iya dek, sampah-sampah kertas dari atas.
S : Bapak lagi ngapain? Ko kertasnya dipisah-pisahin pak? (saya melihat karung yang satu berisi sampah dengan potongan kertas putih dan karung satunya lagi berisi kertas yang berwarna-warna)
B : Ini dek lumayan kalo dijual bisa dihargai 500 rupiah satu kilonya (sambil menunjuk karung goni yang isinya kertas berwarna)
–seketika saya tersentak dan terdiam–
S : Bapak tinggal dimana pak?
B : Saya tinggal diatas, di lantai 1
S : Di lantai 1? Sebelah mananya pak, emang ada kamar ya?
B : Itu dek di ruangan aula yang besar itu
–saya kembali terdiam–
Untuk mencari 500 rupiah, ia harus berlelah mengail dan menjual sampah kertas
Mungkin untuk kita 500 rupiah itu kecil dan tidak berarti
Terkadang untuk menyebutnya pun, kita mengatakannya 500 perak karena saking tidak berartinya
500 rupiah di zaman ini paling hanya untuk polisi cepek
Beli permen pun mungkin cuma bisa dapat 2
Kalau 500 ada di atas meja pun tidak ada yang melirik
Begitu kecilnya 500 rupiah untuk kita, tapi bagi bapak tersebut 500 rupiah sangat berarti. Semoga kita bisa lebih menghargai arti dari rezeki yang kita dapatkan. Berapapun kecil nilai dan nominalnya, sebagian dari rezeki kita tersebut merupakan kepunyaan dari orang yang tidak mampu.
Sebuah pelajaran berharga tentang arti kesabaran, keikhlasan dan kekuatan. Semangat terus ya Pak!!